Caption foto : suasana seminar saat berlangsung

JOMBANG :Seminar Akses Pembiayaan Perbankan untuk pelaku usaha UKM dan UMKM di Jawa Timur, yang diselenggarakan di Gedung PSBR Jombang. Pada Rabu (16/1/2019).

Seminar yang diadakan oleh OJK (Otoritas Jasa Keuangan) dan Perbankan BUMN dibuka oleh Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Soepriyatno yang juga sebagai narasumber dalam acara seminar tersebut. Narasumber lainnya dari Bank Indonesia Jawa Timur Harmanto dan Kepala Perlindungan Konsumen dari OJK (Otoritas Jasa Keuangan), Inggit Mawarsih.

Seminar tersebut bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pemberian kredit kepada pelaku usaha UKM dan UMKM yang ada di Jawa Timur, terutama di kabupaten Jombang dan ada juga usaha yang dikelola bukan oleh perbankan dengan nama ultra mikro. Pinjaman maksimal untuk ultra mikro atau PIP yang maksimal pendanaannya 10 juta dan tanpa agunan dengan bunga 2-4%. Sedangkan untuk pendanaan yang lebih maju bisa menggunakan KUR yang pendanaannya sampai 500 juta dan menggunakan agunan, ujar Soepriyatno.

Menurut Prayitno, Sejak Indonesia mengalami krisis tahun 1998, ekonomi Indonesia masih dapat bergerak karena UMKM. UMKM pada saat itu masih dapat hidup, tahan banting, menciptakan banyak lapangan pekerjaan jumlahnya pun ada jutaan. Untuk itu perlu dilakukan penataan kembali terkait pembiayaan, kondisi, produksi, dan lain sebagainya. Untuk itu diundangkan pihak-pihak terkait, sedangkan untuk nasabah yang hadir berasal dari bank BUMN diantaranya BRI, BNI dan Bank Mandiri.

“Soepriyatno berharap dengan adanya seminar ini, pelaku UMKM untuk semakin terbuka dan tidak sampai terjadi kemacetan dalam usaha yang dilakukan,” ungkapnya.

Harmanto menambahkan sebelum terjadinya krisis, Bank Indonesia memiliki multi fungsi yakni menjaga kestabilan nilai tukar rupiah, mendorong kelancaran produksi, serta memperluas kesempatan kerja. Namun setelah terjadinya krisis Bank Indonesia hanya dibatasi pada penjagaan kestabilan nilai rupiah. Hal itu bukan berarti Bank Indonesia lepas tangan, tetapi Pemerintah telah menugaskan beberapa Bank untuk mengatur UMKM. Sedangkan untuk BI berperan melakukan penelitian, pelatihan dan memfasilitasi, serta menyediakan informasi agar UMKM layak untuk dibiayai oleh lembaga pembiayaan, jelasnya.

Tantangan yang dihadapi oleh UMKM adalah banyaknya usaha yang mikro, disusul oleh usaha yang kecil, tetapi untuk kategori usaha menengah masih banyak yang kosong, untuk itu perlu ditingkatkan kapasitasnya agar dapat naik kelas. Tantangan lain berupa ekspor impor yang mengalami defisit, artinya produk yang dihasilkan masih sulit untuk menembus pasar dunia. Hal tersebut diakibatkan oleh sulitnya dalam pemasaran dan kurangnya modal atau pendanaan, serta kurangnya pengetahuan, tambah Hermanto.

Menurut Inggit, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memiliki program PTKAD (Percepatan Akses Keuangan Daerah) yang melibatkan pemerintah setempat yang diwakili oleh OPD. UMKM yang diambil juga berasal dari binaan OPD yang telah dikaji. OJK tidak terlepas dari BI dalam hal pengawasan dan pengaturan keuangan. OJK juga melakukan pelatihan agar pelaku UMKM dapat segera naik kelas dan mendapatkan omset yang lebih besar, dengan pembiayaan yang rutin dan lancar.

“OJK berfungsi sebagai pengatur, pengawas, perlindungan konsumen. Inggit juga berharap agar seminar ini dapat dijadikan kajian dan bahan untuk kedepannya dapat lebih baik lagi dan dapat mendorong UMKM yang tidak bisa mendapatkan akses, agar dapat mendapatkan akses dan layak,” pungkasnya. (rin/yun)