Caption foto : Palupi saat pemaparan

JOMBANG :Refleksi Akhir Tahun dan Launching CATAHU Data Kasus Women’s Crisis Center (WCC) Tahun 2018 tentang darurat kekerasan seksual saat press release dengan sejumlah Media di Jombang. Bertempat di Zabo Cafe Jalan Kusuma Bangsa Jombang. Kamis (27/12/2018)

Menurut Direktur WCC Jombang Palupi Pusporini kekerasan terhadap perempuan mengalami kenaikan setiap tahunnya. Tahun 2017 WCC mencatat ada 62 (43 kekerasan dan 19 KDRT) kasus, sedangkan tahun 2018 mengalami kenaikan sebesar 29,03 % atau 80 kasus yang terdiri dari kasus seksual 52 kasus (65%) dan KDRT 28 kasus (35%). Korbannya anak perempuan maupun perempuan dewasa. Kasus kekerasan seksual mengalami kenaikan sebesar 17,03% dan kasus KDRT naik 50%.

“Catatan kasus kekerasan terhadap perempuan di wilayah Jombang ditemukan dari 16 kecamatan, 5 kecamatan yang mengalami kenaikan signifikan dari tahun sebelumnya. Kecamatan Jombang yang paling tinggi mencapai 21 kasus, Mojoagung 7 kasus dan Mojowarno 7 kasus, Plandaan 6 kasus dan Sumobito 6 kasus yang dutangani WCC Jombang. Kalau disinergikan dengan data dari PPA (Unit Perlindungan Perempuan dan Anak) Polres Jombang, jumlah kasusnya bisa jadi lebih banyak lagi,” ungkapnya.

Angka kekerasan terhadap perempuan tersebut, dalam realitas sesungguhnya bisa jadi jauh lebih besar karena yang dicatat adalah kasus-kasus yang masuk WCC Jombang. Sedangkan yang tidak dilaporkan ke WCC pasti lebih banyak dari itu. Sedangkan angka yang tercatat di WCC tergolong besar untuk Kabupaten Jombang karena Jombang kota santri, kata Palupi.

Lanjut Palupi, pemetaan WCC usia perempuan korban kekerasan seksual didominasi usia anak-anak. Pada 2017, terdapat 37 anak perempuan korban kekerasan seksual, dan tahun ini naik menjadi 42 anak perempuan, semuanya berstatus pelajar tetapi untuk usia pelaku, justru berbanding terbalik. Pendidikan seseorang meski Sarjana ternyata tak selalu menjadi patokan seorang laki-laki tidak menjadi pelaku kekerasan seksual perempuan.

“Terbukti lima pelaku kekerasan perempuan pada institusi pendidikan, 4 diantaranya pelaku kekerasan seksual. Selanjutnya 4 pelaku kekerasan terhadap perempuan yang latar belakang pekerjaan justru polisi,” ujarnya.

Selanjutnya relasi antara korban dan pelaku dari seluruh kasus kekerasan seksual, terdapat 14 pelaku diantaranya guru, tetangga (11), paman (2), kakak ipar (1), ayah kandung (2), sepupu (1), pacar (10) dan teman (3). Semua itu menjadi sorotan bersama, karena orang-orang yang seharusnya bisa menjadi tempat berbagi, justru menjadi pelaku kekerasan. Perempuan selalu pada posisi tidak aman karena angka kekerasan seksual di ranah publik (48 kasus) dan di ranah domestik (5), jelas Palupi.

Penanganan kasus tersebut sesungguhnya berbanding lurus dengan sinergitas seluruh stakeholder di Kabupaten Jombang sebab ketika sistem koordinasi berjalan dengan baik secara otomatis prrmasalahan sistemik dalam upaya penanganan maupun pemulihan korban dapat ditangani dengan baik dan persoalan kekerasan terhadap perempuan di Jombang belum mendapatkan penanganan berperspektif korban.

“Contoh kasus kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan, korban harus kehilangan hak meneruskan pendidikan setelah ada kasus yang dialami. Perempuan korban yang dewasa sering kehilangan pekerjaan setelah kasus yang menimpanya. Pemerintah membuka program pendidikan kejar paket bagi anak yang berhadapan dengan hukum,” tegas Palupi.

Palupi berharap, pengajuan rekomendasi WCC untuk memgutamakan korban kekerasan seksual mendapatkan akses pendidikan formal maupun nonformal seperti fasilitas gratis pendidikan luar sekolah bagi korban yang putus sekolah, untuk membentuk dan mendukung program pemulihan korban kekerasan secara berkelanjutan melalui ‘healling trauma’ berkelanjutan maupun program pemberdayaan lainnya dan mendesak DPRD Jombang mendorong DPR RI segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual segera teruwujud, pungkasnya. (yun)